Pandemi COVID-19 telah mengubah semua sektor kehidupan manusia. Upaya- upaya yang telah dilakukan dalam menghentikan wabah COVID-19 ini di antaranya dengan memberlakukan bekerja dari rumah, memberikan jam kerja yang lebih fleksibel, ataupun menutup banyak institusi seperti sekolah, universitas dan institusi- institusi pendidikan lainnya. Proses berpikir, perilaku dan respons emosional seseorang terhadap wabah sangat bervariasi sesuai dengan latar belakang masing- masing individu dan komunitas tempat tinggalnya.
Bagi sebagian orang, informasi yang salah, ketidakpastian, dan takut tertular dapat meningkatkan stres dan kecemasan sehingga menyebabkan panik (Kaligis dkk, 2020).
Keadaan dunia saat ini mudah menyebabkan kecemasan pada setiap individu. Kecemasan ini dapat terkait dengan masalah kesehatan dan hal lainnya. Riwayat kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya dapat memperburuk stres akibat pandemi. Orang- orang tua yang memiliki gangguan fungsi kognitif cenderung menjadi lebih gelisah dan khawatir saat melakukan isolasi mandiri. Anak- anak juga dapat merasa cemas karena tidak dapat bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan rutinitas baru di rumah (William B, 2020). Selanjutnya, beberapa orang juga mengalami reaksi psikologis lainnya seperti anxiety (kecemasan), insomnia atau hipersomnia, perubahan pola makan atau penyalahgunaan zat hingga kepanikan massal (Pangestika D, 2020).
Di tengah ketidakberdayaannya, manusia selalu memiliki kesempatan untuk bisa memandang hidup secara lebih positif (Peterson & Seligman, 2004). Salah satu keutamaan individu untuk dapat memandang hidup secara lebih positif adalah melalui bersyukur. Menurut penelitian Listiyandini dkk (2015), bersyukur menjadi salah satu solusi dalam mengurangi rasa cemas akan masa depan. Bersyukur merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki individu untuk melihat hidup dengan lebih positif. Rasa syukur merupakan salah satu wujud dari emosi positif pada diri individu.
Berdasarkan American Heritage Dictionary of the English Language (2009), bersyukur berasal dari bahasa Latin, yaitu gratus dan gratitude yang artinya berterima kasih (thankfulness) atau pujian (pleasing). Menurut Peterson dan Seligman (2004), yakni perasaan berterima kasih dan bahagia sebagai respon atas suatu pemberian, entah pemberian tersebut merupakan keuntungan yang nyata dari orang tertentu ataupun momen kedamaian yang diperoleh dari keindahan alamiah.
Menurut Dr. Robert Emmons (2003), perasaan syukur itu melibatkan dua tahap. Pertama, adanya pengakuan goodness (kebaikan) dalam hidup seseorang atau dapat dikatakan kalau hidup itu baik. Kedua, syukur adalah mengakui bahwa beberapa sumber kebaikan ini di luar diri. Seseorang dapat berterima kasih kepada orang lain, hewan, dan dunia. Selanjutnya, orang yang merasa cukup bersyukur karena masih hidup adalah cara yang baik untuk memotivasi diri sendiri dalam menjalani hidup.
Seseorang dengan rasa syukur yang lebih, dapat menyebabkan peningkatan kesejahteraan (Emmons & Crumpler, 2000). Orang yang bersyukur akan lebih menyenangkan, lebih terbuka dan minim neurotik. Rasa syukur berhubungan terbalik dengan depresi, dan secara positif berhubungan dengan kepuasan hidup (Wood dkk, 2008). Ketika mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu akan memperkuat hubungan dan berkorelasi positif dengan kepuasan hubungan (Algoe, dkk. 2010). Orang yang yang fokus pada rasa syukur menunjukkan lebih banyak optimisme di kehidupannya (Emmons & McCullough, 2003). Hal ini dirkuat dengan penelitian eksperimen dari McCraty dkk (1998), orang dengan sikap bersyukur mengalami tingkat stress yang lebih rendah. Selanjutnya, Kebersyukuran juga dapat dikembangkan dengan latihan (Peterson & Seligman, 2004).
Proses kebersyukuran dapat berpengaruh dalam hidup seseorang karena dua hal. Katarsis, merupakan suatu proses dimana seseorang melepaskan emosi yang sangat kuat. Hubungan timbal balik, sebagai konsep dari psikologi sosial tentang pertukaran tindakan. Ketika seseorang berterima kasih untuk orang lain, maka orang lain tersebut akan termotivasi untuk melakukan kebaikan dengan orang tersebut atau melanjutkan kebaikan untuk orang asing.
Salah satu kekuatan lain selain kebersyukuran adalah sikap optimis seseorang selama masa pandemi. Hal ini diperkuat dengan penelitian Reed (2016), bahwa individu yang optimis akan mampu menyesuaikan strategi coping, sehingga orang yang optimis lebih mampu mendapatkan hasil yang positif dibandingkan yang pesimis. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Carver dkk (2020), bahwa optimisme dapat mengarah pada kesehatan mental yang kuat, serta sebagai sarana coping dalam menghadapi peristiwa negatif dalam hidup.
Menurut Scheier & Carver (1985), optimisme merupakan suatu kecenderungan sifat untuk menilai masa depan berdasarkan terwujudnya hasil sesuai yang diinginkan, sedang pesimisme merupakan suatu kecenderungan sifat yang mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi di masa depan. Optimisme adalah interpretasi seseorang pada situasi eksternal secara positif, dimana meskipun keadaan yang dihadapi bersifat merugikan, berbahaya dan traumatis, kesulitan- kesulitan tersebut akan dapat dihadapi dengan usaha dan tekad (Carver, Scheier, & Segerstrom, 2010).
0 Comments